Seorang ayah menjemput anak perempuannya di sekolah
yang saat itu duduk di bangku SMP kelas III. Begitu memasuki mobil, putrinya
langsung berkata, “ayah, lihat cowok yang lewat itu. Dia cowok yang pernah ana
templelng. “ mendengar cerita anaknya, si ayah tentu saja terkejut. Bagaimana
bisa anak perempuannya melkukan kekeransan, berani menempeleng laki- laki.
“Habis, dia berani kurang ajar sama ana dan teman- teman ana. . . ,” jelas anak
perempuannya. “Yes! Anak perempuanku punya prinsip, “ batin sia ayah.
SEBAGAI orang tua kita memang harus mengajarkan kepada anak-
anak tentang keimanan, kelembutan, kasih sayang, empati, cinta, dan respect.
Namun jangan lupa kita juga perlu membekali mereka dengan nyali, ketegasan dan
keberanianmelawan kemaksiatan atau ketidakbenaran yang terjadi.
Kepada anak- anak perlu diajarkan
ketegasan dan keberanian untuk berbeda dengan sekitarnya bila itu melanggar
etika dan berbuat dosa. Manusia mulia itu punya prinsip dan tidak mudah terbawa
arus yang serba permisif. Budaya permisif itu merusak tatanan kehidupan
bermasyarakat. Semua serba boleh, semua menjadi maklum, semua menjadi wajar.
Dan akhirnya, semua serba rusak.
Lihatlah fenomena yang muncul begitu
kuat dewasa ini, dimana sebagian besar dari kita telah kehilangan perhatian
pada fenomena spiritual, etika, kebenaran, kehormatan dan keadilan dalam
menjalani kehidupan sosial bermasyarakat.
Lihat dan perhatikanlah lingkungan
di sekitar kita, atau luangkan waktu dan simak apa yang dimuat dan ditayangkan
oleh media mass, baik media cetak maupun elektronik.hampir setiaap hari kita
disuguhi dengan informasi yang berkaitan dengan tindak kriminalitas, korupsi,
terorisme, tindakan kekerasandari satu golongan kepada golongan lain,
pembunuhan karena hal sepele, tawuran pelajar, narkoba, pelanggaran norma
asusila, pelecehan intelektual, banjir iklan yang mendorong pola konsumtif
berlebihan, sinetron yang mengekspoitasi dengan gaya hidup modern, dan lainnya.
Semua itu menjadi refleksi dari
terjadinya krisis kesadaran dan pemikiran akan pentingnya nilai- nilai hidup.
Meskipun masih ada tayangan positif dan bersifat edukatif, tapi porsinya masih
sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang bersifat negatif. Masyarakat kita
mungkin menjadi sedemikian permisif bahkan terhadap hal- hal yang dianggap
pelanggaran etika dan moral, sehingga kontrol sosial tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
Secara umum harus diakui, bahwa kita
hidup di zaman krisis. Tanda- tandanya jelas dapat dilihat dimana-mana. Pola
hidup secara cepat dan kacau telah sungguh- sungguh menyerang kesehatan jiwa
kita. Apa yang terjadi dalam dunia lalu lintas setidaknya dapat memberi
gambaran bahwa banya dari kita sedang terganggu jiwnaya. Saling serobot dan
pelanggaran terhadap rambu lau lintas menjadi pemandangan biasa, dan sepetinya
memperoleh pembenaran karena dilakukan secara massal beramai-ramai.
Begitupun dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan, saling serobot dan pelanggaran rambu- rambu sosialdan
agamamuncullah istilah “korupsi berjamaah”, “berbohong berjamaah”, “penindasan
berjamaah”, dan lain sebagainya.
Akibatnya, banyakdari kita berbicara
tentang “perdamaian” tapi melkukan intimidasi terhadap pihak lain. Kita
berbicara tentang “kemakmuran”, namun menyret diri kita sendiri dalam utang
yang mencemaskan. Banyak meneriakkan kemerdekaan, namun menuntut orang lain
untuk menyamakan cita- cita, tujuan dan kebebasannya persis seperti diri
mereka. “persamaan hak” seringkali menjadi hukuman bagi keunggulan individual
dan kata”kebersamaan” menjadi slogan yang membelenggu inisiatif.
0 komentar:
Post a Comment
give your best comment