Artikel: Melawan Toleransi Moral dan Budaya Permisif ~ ADITAMA SAPUTRA 707

Tuesday 1 March 2016

Filled Under:

Artikel: Melawan Toleransi Moral dan Budaya Permisif


 

Seorang ayah menjemput anak perempuannya di sekolah yang saat itu duduk di bangku SMP kelas III. Begitu memasuki mobil, putrinya langsung berkata, “ayah, lihat cowok yang lewat itu. Dia cowok yang pernah ana templelng. “ mendengar cerita anaknya, si ayah tentu saja terkejut. Bagaimana bisa anak perempuannya melkukan kekeransan, berani menempeleng laki- laki. “Habis, dia berani kurang ajar sama ana dan teman- teman ana. . . ,” jelas anak perempuannya. “Yes! Anak perempuanku punya prinsip, “ batin sia ayah.
    SEBAGAI orang tua kita memang harus mengajarkan kepada anak- anak tentang keimanan, kelembutan, kasih sayang, empati, cinta, dan respect. Namun jangan lupa kita juga perlu membekali mereka dengan nyali, ketegasan dan keberanianmelawan kemaksiatan atau ketidakbenaran yang terjadi.
            Kepada anak- anak perlu diajarkan ketegasan dan keberanian untuk berbeda dengan sekitarnya bila itu melanggar etika dan berbuat dosa. Manusia mulia itu punya prinsip dan tidak mudah terbawa arus yang serba permisif. Budaya permisif itu merusak tatanan kehidupan bermasyarakat. Semua serba boleh, semua menjadi maklum, semua menjadi wajar. Dan akhirnya, semua serba rusak.
            Lihatlah fenomena yang muncul begitu kuat dewasa ini, dimana sebagian besar dari kita telah kehilangan perhatian pada fenomena spiritual, etika, kebenaran, kehormatan dan keadilan dalam menjalani kehidupan sosial bermasyarakat.
            Lihat dan perhatikanlah lingkungan di sekitar kita, atau luangkan waktu dan simak apa yang dimuat dan ditayangkan oleh media mass, baik media cetak maupun elektronik.hampir setiaap hari kita disuguhi dengan informasi yang berkaitan dengan tindak kriminalitas, korupsi, terorisme, tindakan kekerasandari satu golongan kepada golongan lain, pembunuhan karena hal sepele, tawuran pelajar, narkoba, pelanggaran norma asusila, pelecehan intelektual, banjir iklan yang mendorong pola konsumtif berlebihan, sinetron yang mengekspoitasi dengan gaya hidup modern, dan lainnya.
            Semua itu menjadi refleksi dari terjadinya krisis kesadaran dan pemikiran akan pentingnya nilai- nilai hidup. Meskipun masih ada tayangan positif dan bersifat edukatif, tapi porsinya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang bersifat negatif. Masyarakat kita mungkin menjadi sedemikian permisif bahkan terhadap hal- hal yang dianggap pelanggaran etika dan moral, sehingga kontrol sosial tidak berjalan sebagaimana mestinya.
            Secara umum harus diakui, bahwa kita hidup di zaman krisis. Tanda- tandanya jelas dapat dilihat dimana-mana. Pola hidup secara cepat dan kacau telah sungguh- sungguh menyerang kesehatan jiwa kita. Apa yang terjadi dalam dunia lalu lintas setidaknya dapat memberi gambaran bahwa banya dari kita sedang terganggu jiwnaya. Saling serobot dan pelanggaran terhadap rambu lau lintas menjadi pemandangan biasa, dan sepetinya memperoleh pembenaran karena dilakukan secara massal beramai-ramai.
            Begitupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, saling serobot dan pelanggaran rambu- rambu sosialdan agamamuncullah istilah “korupsi berjamaah”, “berbohong berjamaah”, “penindasan berjamaah”, dan lain sebagainya.
            Akibatnya, banyakdari kita berbicara tentang “perdamaian” tapi melkukan intimidasi terhadap pihak lain. Kita berbicara tentang “kemakmuran”, namun menyret diri kita sendiri dalam utang yang mencemaskan. Banyak meneriakkan kemerdekaan, namun menuntut orang lain untuk menyamakan cita- cita, tujuan dan kebebasannya persis seperti diri mereka. “persamaan hak” seringkali menjadi hukuman bagi keunggulan individual dan kata”kebersamaan” menjadi slogan yang membelenggu inisiatif.
           
  Source: Nuansa Persada volXVII/pebruari 2016



0 komentar:

Post a Comment

give your best comment